Anti Korupsi Sampai Mati

Pacar Indonesia (sebutan untuk peserta diskusi,-red) menyanyikan Lagu 'Seperti Para Koruptor' SLANK

Pacar Indonesia (sebutan untuk peserta diskusi,-red) menyanyikan Lagu 'Seperti Para Koruptor' SLANK

Alunan lagu Indonesia Pusaka menggema di arena 4th Padang Book Fair, Gedung Bagindo Aziz Chan, membuka acara diskusi yang dimulai pukul 14:15 WIB itu. Lagu ciptaan Ismail Marzuki itu diiringi oleh pemusik Indonesia; gitar dan harmonika oleh Andi, Afid (vokalis dan gitaris) serta Mamad (biolis). Minggu (9/11) lalu, Komunitas Untuk Indonesia kembali mendiskusikan Indonesia dengan tema “Anti Korupsi Sampai Mati”. Pengunjung Padang Book Fair yang sesak itu satu persatu bergabung dengan mereka yang sudah berdiskusi, kemudian ikut pula menyumbangkan ide dan pendapatnya tentang Indonesia tercinta. Remaja Indonesia, mulai dari pelajar, mahasiswa serta mereka yang mencintai Indonesia, bersama menguras otak berpikir tentang Indonesia-nya dengan persoalan-persoalan kehidupan yang pelik, yang sedang bertubi-tubi berusaha menghancurkan Indonesia akhir-akhir ini. Remaja Indonesia mendiskusikan masalah-masalah yang tengah terjadi Indonesia, lalu berupaya mencarikan solusi untuk kebaikan Indonesia. Baca lebih lanjut

Pacar Indonesia, Cintai Indonesia Apa Adanya

Oleh: Gus RY

Pacarku Indonesia
Indonesia cinta kita
Pacarku Indonesia
Kita saling cinta
Pada Indonesia

(Pacar Indonesia)

Demikian reff lagu yang diciptakan oleh Afid, Mamad, dan Andi, serta Yusrizal KW, sebagai penulis lirik, mengantarkan diskusi bulanan kedua yang diselenggarakan Komunitas untuk Indonesia, pada Minggu 27 Juli 2008, di STMIK Indonesia, Padang. Diskusi dengan tajuk “Siaran Televisi Miskin Nilai Pendidikan” ini diikuti oleh orang muda, usia sekolahan, dengan menghadirkan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah—KPID—Sumatra Barat, Sumartono, sebagai Kak Pakar—baca; Pembicara.

Diskusi diawali dengan berita-berita seputar dampak siaran televisi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dari berita-berita tersebut, peserta diajak berpikir tentang siaran-siaran televisi yang belakangan memang tidak mencerdaskan, disebabkan masyarakat Indonesia yang latah. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan oleh pemilik siaran untuk menayangkan siaran-siaran yang pada dasarnya sama di tiap stasiun televisi, namun beda kemasan. Hal inilah yang sering ditanggapi dan mendapat teguran Komisi Penyiaran Indonesia dan KPID. Baca lebih lanjut

Karena Tayangan TV Tak Mendidik, ‘Pacar Indonesia’ Berdiskusi

Catatan Ria Febrina

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap dipuja-puja bangsa

(Indonesia Pusaka)

Suasana diskusi Komunitas Untuk Indonesia dengan tema Tontotnan Televisi Miskin Nilai Pendidikan di gedung STMIK Indonesia, Padang. (Foto Yulisa Farma)
Suasana diskusi Komunitas Untuk Indonesia dengan tema Tontotnan Televisi Miskin Nilai Pendidikan di gedung STMIK Indonesia, Padang. (Foto Yulisa Farma)

Semua yang hadir pun berdiri. Lalu mereka menyanyikan lagu ciptaan Ismail Marzuki: Indonesia Pusaka. Musik pengiring kelompok “Musik Untuk Indonesia” Padang. Mereka memainkan gitar dan harmonika. Personilnya Andi, Afid (vokalis dan gitaris) serta Mamad (biolis). Ruangan seminar STMIK Indonesia, Jl. Khatib Sulaiman, Minggu (27/7) kemarin ramai oleh suara remaja Indonesia, ketika memulai diskusi bersama “Komunitas Untuk Indonesia”, dengan Topik: Tayangan Televisi Indonesia Miskin Nilai Pendidikan.

Semangat cinta Indonesia yang dimiliki Komunitas Untuk Indonesia (KUI) yang menyemangati kegiatan untuk kedua kalinya dalam bentuk diskusi antarremaja Indonesia. Remaja Indonesia, mulai dari pelajar sekolah, mahasiswa serta mereka yang mencintai Indonesia, bersama berpikir positif dan cerdas untuk Indonesia. Moto KUI: Untuk Indonesia Aku Ada. Baca lebih lanjut

Tifos

Oleh: S Metron M

Sudah dua minggu berlalu. Molin tahu, Riska telah menyelamatkannya. Riska muncul dan mau jadi “partner”-nya dalam merayakan hari tanpa nonton tv.

Sekarang mereka mau lanjut. Bukan menambah anggota. Molin beranggapan, makin banyak anggota, makin banyak masalah. Riska setuju. Mereka mau mengadakan sebuah acara untuk memberi pengetahuan pada teman-teman tentang positif dan negatif televisi.

Molin dan Riska sepakat hal ini tidak mudah. Apalagi Molin. Ketika pulang ke rumah dua minggu lalu dan memberitahu keluarganya, hampir semuanya menolak. Kecuali Ayah. Tanpa diduga Ayah rela melupakan balap GP yang menjadi tontonan favoritnya. “Demi anakku,”‘ bela Ayah.

Ibu yang tidak bisa melewatkan acara Chef Bara terang-terangan keberatan. “Enak acaranya,” ucap Ibu menirukan suara idolanya dalam sebuah iklan. Molin angkat tangan. Begitu juga dengan dua adiknya. One Stop Football dan kartun di pagi hari emoh mereka lewatkan. “Transfer makin memanas. No Way,” tegas Noki, adiknya yang baru kelas dua SMP tapi bercita-cita menjadi pemain profesional sepak bola pertama Indonesia yang main di Seri A Italia. Molin hanya bisa mengendikkan bahu. Ayah turun tangan mengambil jalan tengah. Selain acara favorit, tidak boleh sedetik pun tv menyala lagi. Semunya menyetujui. Sekali lagi muka Molin selamat.

Baca lebih lanjut

Ketika Tontonan di Televisi Miskin Nilai Pendidikan

Menunggu hadiah buku. Mereka para peserta aktif, sebagai "Pacar Indonesia", merasa gembira karena dapat hadiah. Kak Eka, lagi ngitung bukunya di belakang. (Foto Yulisa Farma)

Menunggu hadiah buku. Mereka para peserta aktif, sebagai "Pacar Indonesia", merasa gembira karena dapat hadiah. Kak Eka, lagi ngitung bukunya di belakang. (Foto Yulisa Farma)

Setelah mendiskusikan Nasionalisme pada pertemuan bulan lalu, Komunitas Untuk Indonesia mengadakan acara lagi di Aula STMIK Indonesia pada 27 Juli 2008. Diskusi ini dihadiri lebih dari 80 orang peserta. Sebagai moderator adalah Yusrizal KW dam Kak Pakar hari ini adalah Kak Eka Vidya Putra. Diskusi ini juga menghadirkan Sumartono Mulyodihardjo, seorang komunikator Indonesia juga Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumbar.

Seperti biasa, lagu ciptaan Ismail Marzuki yang berjudul Indonesia Pusaka itu mengalun indah diiringi pemusik Indonesia yang memainkan gitar dan harmonika oleh Andi, Afid (vokalis dan gitaris) dan Mamad (biolis). Menambah kecintaan remaja Indonesia, baik pelajar maupun mahasiswa, kepada Indonesia tercinta.

Televisi menjadi pilihan. “Ketika Tontonan di Televisi Miskin Nilai Pendidikan” menjadi topik diskusi hari ini. Rasionalnya, kualitas tak lagi dipedulikan dalam tayangan televisi kini. Bisa dibilang sudah mendominasi tontonan masyarakat Indonesia. Anehnya, maraknya tayangan minim mutu menentukan rating sebuah program televisi. Realitanya kini, masyarakat Indonesia berperilaku konsumtif karena pada dasarnya manusia memiliki rasa ingin tahu. Pihak televisi juga belum mementingkan kecerdasan masyarakat Indonesia. Asal laku, mutu nggak mutu, tayang terus.

Baca lebih lanjut

Lirik Pacar Indonesia

PACAR INDONESIA
Lagu : Afid/ Mamad/ Andi (Musik Untuk Indonesia)
Lirik : Yusrizal KW

Kekasih kalau kau tanya
berapa dalam cintaku padamu
Aku kan jawab
Cintaku lebih dalam pada Indonesia
Dengan Indonesia kucintai kamu

Kekasih kalau kau tanya
Seberapa kasih sayangku padamu
Aku kan jawab
kasihku cinta suci untuk Indonesia
Dengan Indonesia kupeluk kamu

Pacarku Indonesia
Indonesia cinta kita
Pacarku Indonesia
Kita saling cinta
Pada Indonesia

Kekasih kalau kau tanya
Apa rasa rinduku padamu
Aku kan jawab
Rinduku Indonesia tersenyum untuk kita
Dengan senyum Indonesia kubahagiakan kamu

PEMUSIK UNTUK INDONESIA: MEMBERI WARNA KRITIS PADA LAGU

Kelompok Musik UNTUK INDONESIA (Havid, Andika, Mamad) akan selalu hadir setiap diskusi/kegiatan Komunitas Untuk Indonesia. Untuk Indonesia aku bernyanyi! (Foto Faiz)

Kelompok Musik UNTUK INDONESIA (Havid, Andika, Mamad) akan selalu hadir setiap diskusi/kegiatan Komunitas Untuk Indonesia. Untuk Indonesia aku bernyanyi! (Foto Faiz)

Kelompok musik ini cuma bertiga orang saja. M Havizd, Muhamad Ridwan (Mamad) dan Andika. Mereka, ketika acara diskusi yang digelar Komunitas UntuIndonesia di arena Minangkabau Book Fair, di pelataran Parkir Gedung Bagindo Aziz Chan, Padang, menarik perhatian banyak orang. Mereka menggunakan gitar, harmonika dan biola. “Melihat dan mendengarkan cara mereka memainkan musik, asyik banget,” kata Fariza, seorang peserta. Kelompok mereka, ketika main dalam kaitan program Komunitas Untuk Indonesia, bernama Kelompok Musik Untuk Indonesia. Sebab, lepas dari program tersebut, masing-masing punya kegiatan musik masing-masing. Seperti Mamad misalnya, melatih musik di salah satu sekolah musik di kota Padang. Havizd juga tergabung di kelompok musik lain, sebagaimana juga Andika. Musik Untuk Indonesia, digagas memang untuk memadukan gagasan cinta

Baca lebih lanjut

AKU INGIN PUNYA BAPAK YANG TIDAK KORUPSI

Ketua Komunitas Untuk Indonesia, Yusrizal KW, disaksikan Isra Iskandar (Pakar Penilai) , menyerahkan hadiah buku kepada Nila R Isna, sebagai penanggap terbaik dalam diskusi. (Foto Faiz)

Ketua Komunitas Untuk Indonesia, Yusrizal KW (Om KW), disaksikan Isral Iskandar (Pakar Penilai) , menyerahkan hadiah buku kepada Nila R Isna, sebagai penanggap terbaik dalam diskusi. (Foto Faiz)

Salah satu rangkaian acara Minangkabau Book Fair 2008 kemarin ada diskusi Komunitas Untuk Indonesia. Nama acaranya Parlementaria Remaja On Demokrasi. Topiknya Nasionalisme. Mottonya Untuk Indonesia Aku Ada.

Diskusinya keren terutama untuk mempertanyakan rasa nasionalisme remaja saat ini. Kan remaja sekarang banyak yang gak peduli sama negaranya. Hobinya cuma mejeng-mejeng di mall. Nggak peduli kalo negaranya lagi krisis. Iya toh?

Peserta yang hadir puluhan orang. Lumayan ramai kata Om KW (Yusrizal KW) yang menjadi penggagas Komunitas Untuk Indonesia. Dalam diskusi ini ada penanggap ahlinya juga yang diberi gelar Kak Pakar yaitu Kak Eka, Kak Israr, dan Kak Taufik. Ketiganya itu merupakan dosen sekaligus pakarnya demokrasi.

Materi diskusi rada-rada hot. Jadinya peserta ikutan panas. Apalagi para peserta berasal dari kalangan berbeda. Emang sih semuanya remaja, tapi ada juga remaja yang masih pelajar, remaja yang udah jadi mahasiswa, remaja yang udah kerja, bahkan remaja yang udah jadi guru atau dosen, dan “katanya” juga ada remaja jalanan. Lho? (Hihihi…, ukuran remaja apa ya….)

Baca lebih lanjut

KETIKA NASIONALISME DIPERDEBATKAN

Untuk Indonesia Aku Ada. Foto bareng, kompak, saatnya ikut menginspirasi perubahan untuk Indonesia yang lebih baik! (Foto Faiz)

Untuk Indonesia Aku Ada. Foto bareng, kompak, saatnya ikut menginspirasi perubahan untuk Indonesia yang lebih baik! (Foto Faiz)

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki mengalun di Gedung Bagindo Aziz Chan yang saat itu berlangsung Minangkabau Book Fair 2008, pada Minggu, 8 Juni lalu. Lagu yang dinyanyikan oleh segenap remaja ini merupakan lagu pembuka diskusi yang digelar Komunitas Untuk Indonesia bertopik: Nasionaluisme. Komunitas dengan slogan ‘Untuk Indonesia Aku Ada’ ini menggagas kegiatan ini untuk kaum remaja agar terbiasa berdiskusi dan berpikir kritis serta kreatif.

Baca lebih lanjut

SUARA REMAJA DIDENGAR UNTUK INDONESIA

Aku ingin punya Bapak yang tidak korupsi, Ibu yang tidak suka menonton sinetron, dan teman-teman yang suka membaca…”

Amel, Icha dan Opie, ikutan diskusi untuk Komunitas Untuk Indonesia. Kalau didengar suara kritis kita, rasanya sebagai remaja bahagia banget. (Foto Faiz)

Amel, Icha dan Opie, ikutan diskusi untuk Komunitas Untuk Indonesia. Kalau didengar suara kritis kita, rasanya sebagai remaja bahagia banget. (Foto Faiz)

Lalu orang bertepuk tangan, berdecak kagum setelah mendengar seorang perempuan remaja, Nilna R Isna namanya, mengucapkan kata-kata itu. Kita yang mendengarnya barangkali kagum. Atau berbisik ke hati sendiri: mungkinkah ramaja bisa berkata begitu? Berbahayakah?

Di Bagindo Aziz Chan, 8 Juni 2008, Komunits Untuk Indonesia mengadakan sebuah diskusi tentang Nasionalisme.Untuk Indonesia Aku ada, demikian motto komunitas ini. Para penanggap yang disebut Kak Pakar dihadirkan: Eka Vidya Putra, Isral, dan M. Taufik. Mereka seakan hendak “menggugat” rendahnya nasionalisme kaum remaja, kaum muda. Waktu yang tepat memang, karena diskusi itu sendiri ditujukan untuk, dan dihadiri oleh banyak orang muda. Orang muda/remaja yang sepertinya susah dapat tempat untuk bicara. Tapi di sini tidak. Mereka didengarkan.

*** Baca lebih lanjut